Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Follow-up kasus-kasus sitologik yang positif (Dr. F. Engel dan Prof. Dr. A. Schaberg)

Follow-up kasus-kasus sitologik yang positif (Dr. F. Engel dan Prof. Dr. A. Schaberg) - Pernyataan hasil pemeriksaan sitologi di mana-mana masih memakai pembagian Papanicolaou (1954) :

Gol I : Tidak diketemukan sel-sel atipi ataupun sel-sel abnormal lain.
Gol II : Dilihat adanya sel-sel atipi, akan tetapi tidak menunjukkan sifat keganasan.
Gol III : Sitologi mencurigakan, akan tetapi tidak dapat membuktikan adanya proses ganas.
Gol IV : Amat mencurigakan akan malignitas.
Gol V : Sitologi membuktikan malignitas.

Jumlah preparat usap yang tidak dapat dinilai akibat fiksasi yang tidak baik atau bahan usapan terlalu sedikit, umumnya sekitar 3-6%. Usapan dari golongan I dan II dapat dianggap sebagai sitologi negatif, dan golongan IV dan V harus dianggap sebagai sitologik positif.

Masalah yang umumnya menimbulkan kesulitan ialah interpretasi usapan-usapan golongan III. Pada saat ini kebanyakan laboratorium sitologi dalam laporannya di samping memberikan klasifikasi juga saran untuk mengulang pemeriksaan usapan, serta ramalan diagnosa histologiknya.

Sebagai suatu garis sikap yang sederhana dan tetap diharapkan sebaiknyalah semua penderita dari klasifikasi III atau lebih segera dikirim kepada ahli ginekologi. Pada umumnya penderita dengan klasifikasi golongan III memerlukan pemeriksaan sitologi ulangan dan kalau perlu juga kolposkopi.

Sedang mereka dari golongan IV dan V perlu pemeriksaan histologik segera. Pemeriksaan histologik ini dapat berupa :

  • Eksisi percobaan yang multipel dan curettage cervix dibantu oleh kolposkopi dan test Schiller.
  • Konisasi.

Test Schiller ini berdasar atas sifat sel-sel epitel gepeng yang banyak mengandung glikogen yang dengan larutan jodium dalam air, akan memberi warna coklat. Dengan demikian epitel yang patologik (tidak mengandung glikogen) yang tidak akan berwarna coklat, mudah ditandai.

Sebelum dilakukan konisasi cervix, test Schiller ini juga perlu dikerjakan. Diluar daerah peralihan dibuat eksisi sirkuler sehingga sebagian besar canalis cervicis uteri teriris bentuk kerucut (konus). Sebelum dikirim ke laboratorium Patologi-Anatomi konus tadi ditandai bagian ventral dan dorsalnya sehingga memudahkan ahli patologi menetapkan irisan dan menentukan sifat serta perluasan lesi yang diperiksa tadi.

Cara mana yang akan dipilih untuk mengevaluasi kelainan sitologik (cara 1, 2 atau kedua-duanya) telah banyak menimbulkan pertentangan di kalangan ahli. Alasan memilih konisasi yang paling penting adalah pertama karena suatu mikro karsinoma (karsinoma dengan mikro invasi) tidak dapat dikesampingkan begitu saja dengan jalan eksisi percobaan dan curettage endocervix, dan yang kedua ialah karena konisasi lebih mampu memberikan gambaran yang dapat dipercaya mengenai jenis lesi yang ada.

Kedua alasan di atas saat ini banyak diserang oleh ahli kolposkopi yang berpengalaman. Di samping itu keberatan-keberatan yang dikemukakan terhadap konisasi tidak pula sedikit. Komplikasi penting yang bisa terjadi antara lain : 

  • Perdarahan, infeksi, granulasi.
  • Stenosis cervix.
  • Partus prematurus dan kesulitan sehubung dengan mekanisme pembukaan cervix pada kehamilan dan persalinan berikutnya.

Di samping itu terapi selanjutnya dapat pula terganggu; bilamana ternyata dalam konus diketemukan karsinoma yang invasif, maka baik tindakan bedah radikal maupun terapi radiologik akan mengalami kesukaran. Karenanya suatu kecurigaan akan adanya karsinoma yang invasif merupakan suatu kontraindikasi konisasi.

Akhirnya sebagai keberatan relatif dilakukan konisasi ialah karena ekstirpasi uterus yang dilakukan sesudah konisasi lebih banyak memberikan komplikasi (infeksi), kecuali bila tindakan itu dikerjakan paling sedikit 6 minggu sesudah konisasi
Mengingat bahwa kriokoagulasi saat ini memiliki keuntungan terapetik lebih besar daripada koniasi, nampaknya di masa mendatang orang lebih menyukai evaluasi sitologi dengan melakukan eksisi percobaan yang terarah secara kolposkopik tidak dapat dilihat (tinggi dalam canalis cervicalis), atau pada kasus-kasus dengan perbedaan yang jauh antara diagnosa sitologik dengan diagnosa histologik. Bagaimanapun juga tidak boleh dilupakan pentingnya saling pengertian dan kerjasama antara klinikus dengan ahli patologi anatomi.