Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kematian sel sebagai mekanisme dalam terapi tumor

Kematian sel sebagai mekanisme dalam terapi tumor - Kerja kemoterapi sitostatik berdasar atas eliminasi sel-sel tumor. Dalam kultur jaringan dan dalam tumor percobaan (buatan), kematian sel bawah pengaruh sitostatika dapat diukur secara kwantitatif. Pengobatan suatu tumor dengan sitostatika dalam suatu kondisi buatan yang dapat direproduksi menyebabkan kematian sel-sel tumor dalam jumlah fraksi yang tetap, dan dari kurve dosis efek terhadap kelangsungan hidup sel ternyata kemungkinan sembuh beberapa tumor buatan pada binatang-binatang percobaan memang dapat diramalkan lebih dahulu.

Kesembuhan tumor baru tercapai kalau sel tumor yang terakhir telah dieliminasi. Kalau hubungan antara dosis pengobatan dan logaritma jumlah sel yang tahan hidup itu berupa garis lurus, maka tidak dapat dibaca kapan jumlah sel tumor akan menurun sampai nol, tetapi ketahanan hidup yang dapat dicapai sampai sejumlah 1/10 sel tumor dapat diinterpretasi sebagai kemungkinan residif 10% atau kemungkinan penyembuhan 90%.

Kematian sel sebagai mekanisme dalam terapi tumor

Kalau kita mengabaikan bermacam-macam bentuk resistensi (lihat belakang) maka kurve tahan hidup eksponensial seperti terlihat pada gambar 22 memberi suatu titik tolak yang baik untuk memahami beberapa mekanisme kemoterapi.

Ini memungkinkan kita menarik beberapa kesimpulan mengenai hubungan antara intensitas pengobatan, besar tumor, sensitivitas tumor dan kemungkinan sembuh. Skipper dan kawan-kawan (1970, 1971) mengarahkan perhatian pada pendekatan kuantitatif dalam penyelidikan ketahanan hidup sel, guna mendapatkan pengertian mekanisme kemoterapi tumor dalam klinik.

Pertama-tama perlu disadari bahwa dari pertumbuhan dan terapi tumor, hanya suatu fase (yang terbatas) yang dapat diikuti dengan pengamatan klinik. Tumor dengan berat 1 gram mengandung kira-kira 10 sel, dan pada umumnya kita hanya dapat mengenal suatu tumor secara palpasi, pemeriksaan rontgen, scanning atau karena keluhan-keluhan kalau berat tumor lebih dari 1 gram.

Dalam praktek ternyata jarang dijumpai tumor lebih dari 100 gram pada pengobatan pertama, dan tumor-tumor lebih dari 1.000 gram biasanya hanya didapatkan dalam stadium terminal. Hubungan antara kecepatan pembelahan sel, jumlah sel, berat dan besar tumor, ditunjukkan dalam tabel III.

Dari tabel ini tampak bahwa jumlah sel tumor secara klinis yang dapat terdiagnosa hampir selalu antara 109 dan 1012 dan pada permulaan pengobatan biasanya antara 109 dan 1011. Kesimpulan pertama yang dapat ditarik bahwa besar tumor dalam batas-batas tersebut 1 sampai 100 gram tidaklah terlalu penting untuk kemungkinan penyembuhannya, sebab dosis yang diperlukan untuk mengobati secara efektif tumor-tumor besar dan kecil hanya berbeda antara 10 sampai 12 satuan dosis, jadi paling tinggi 20% (bandingkan garis-garis a dengan b, dan c dengan d).

Garis-garis a, c dan e dalam grafik ini memiliki sudut kemiringan yang berbeda dan dengan demikian berarti sensitivitas sel terhadap sitostatika sangat bervariasi : garis a menunjukkan tumor yang dapat disembuhkan dengan dosis yang dapat ditoleransi, garis e menunjukkan volume tumor lain yang dengan pengobatan pada dosis sama seakan-akan tidak mengurang, dan kematian sel jelas tidak lebih dari 99%.

Kematian sel sebagai mekanisme dalam terapi tumor

Dengan ini dapat diambil kesimpulan bahwa sensitivitas sel berbagai macam tumor sangat berbeda-beda, dan ini ditunjukkan oleh sudut kemiringannya. Perbedaan ini bisa sampai 5 kalinya atau perbedaan dosisnya sebesar 400%.

Data ini sekali lagi menggaris bawahi bahwa faktor intrinsik ternyata jauh lebih penting daripada faktor variasi besar tumor yang hanya 20% itu. Karena itu tidaklah mengherankan kalau suatu khorionepitelioma dengan metastasis besar di paru atau suatu lekemi berat dengan 100% sel-sel blast dalam sungsum tulang (jumlah sel sungsum tulang berinti pada manusia normal kira-kira 1012), dapat disembuhkan dengan kemoterapi yang dipilih cermat, sedang kemoterapi untuk sarang-sarang melanoma yang kecil kadang-kadang tidak mempan.

Perlu ditekankan di sini bahwa kesimpulan mengenai pertumbuhan tumor tadi berlaku untuk tumor yang dapat didiagnosa secara klinis. Di samping itu ada juga situasi tertentu yang jumlah sel tumornya betul-betul bermakna untuk berhasilnya terapi.

Walaupun sesudah pembedahan tidak dapat ditunjukkan lagi tumor sisa, tetapi menurut data-data stastistik toh mungkin terjadi residif. Sudah barang tentu sel tumor yang tersisa jauh lebih rendah dari yang dibicarakan di atas. Dalam keadaan ini kemoterapi dapat bekerja kuratif (garis-garis f, g, h, i).
Bagi tumor primer yang tidak berhasil diobati dengan kemoterapi saja, karena jumlah sel tumornya terlalu besar (garis c dan d) cara di atas agaknya lebih efektif. Metode ini barangkali baik untuk osteosarloma dan kanker payudara, yang tidak dapat diobati kuratif dengan kemoterapi melulu, tetapi dengan kemoterapi adjuvans segera sesudah operasi hasilnya bisa lebih baik.