Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Imunoterapi (dr. Ph. Rumke)

Imunoterapi (dr. Ph. Rumke) - Imunoterapi ialah suatu terapi yang menggunakan mekanisme-mekanisme efektor imunologik untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel-sel tumor. Sampai waktu akhir-akhir ini disyaratkan, bahwa harus bisa dilakukan diskriminasi imunologik antara sel tumor dan sel-sel normal, dengan perkataan lain adanya antigen-antigen pada membrana sel tumor yang tidak atau hampir tidak pernah terdapat pada jaringan tubuh normal.

Titik tolak pendekatan imunoterapetik adalah bahwa tuan rumah sendiri pada perinsipnya secara imunologik dapat mengadakan reaksi terhadap antigen-antigen ini, tetapi tidak seefektif untuk membunuh sel-sel tumor tersebut.

Maksud imunoterapi adalah untuk menyusun pertahanan yang efisien dengan jalan imunisasi aktif atau menggantinya dengan imunisasi pasif. Pendapat baru menyatakan bahwa sel tumor dapat dihambat pertumbuhannya atau dibunuh oleh makrofag yang telah diaktifkan, tanpa memerlukan pengenalan imunologik spesifik terlebih dahulu.

Sel-sel tumor dianggap mengandung sifat-sifat membran yang tergantung pada fase siklus sel, memungkinkan suatu efek dari makrofag-makrofag yang diaktifkan. Maka imunoterapi dalam arti stimulasi non spesifik, misalnya dengan BCG, dimaksudkan untuk aktivitas sel-sel makrofag.

Adanya antigen pada membran sel tumor, terutama tampak dari percobaan-percobaan binatang. Tumor-tumor yang terjadi karena induksi virus atau berbagai zat kimia dan kadang-kadang juga yang terjadi spontan, sesudah ditransplantasi ke dalam tubuh binatang lain yang sekeluarga dapat ditolak, kalau jumlah sel tumor itu kecil atau kalau resipien sebelumnya telah diimunisasi.

Ternyata lebih banyak sel tumor yang ditolak oleh binatang yang telah mendapat imunisasi dibanding dengan yang belum. Tindakan imunisasi yang biasa dilakukan adalah menyuntikkan sel-sel tumor yang telah diradiasi atau yang telah diubah secara kimiawi, stimulasi aparat imunologik secara non-spesifik seperti dengan BCG, atau dengan mengeksisi kembali tumor yang sebelumnya ditransplantasikan.

Bahwa hal ini berdasarkan mekanisme imunologik dibuktikan dari pengamatan, bahwa kita dapat memindahkan daya tahan binatang yang telah diimunisasi dengan sel-sel imun dan atau antibodi kepada binatang-binatang yang belum diimunisasi.

Mengenai spesifisitas antigen-antigen tumor, dipakai pedoman sebagai berikut : tumor-tumor yang diinduksi dengan virus yang sama, mengandung antigen yang sama pula, walaupun morfologi tumor tersebut berbeda. Antigenisitas tumor yang diinduksi virus RNA yang onkogen terdapat pada virus itu sendiri, karena virus tersebut tumbuh di dalam sel tumor dan diekskresi olehnya.

Pada virus-virus DNA antigenisitas tadi adalah antigenisitas tumor-spesifik yang baru, yang dibentuk berdasar kode genom virus tersebut. Tumor-tumor karena induksi kimiawi umumnya mengandung antigenisitas individuil, dan tidak mengadakan reaksi silang dengan antigenisitas tumor dengan morfologi sama yang diinduksi oleh zat karsinogen yang sama.

Demikian pula halnya untuk tumor yang terjadi spontan, yang bahkan sering tidak bersifat imunogen. Karena pada percobaan ini antigenisitas ditetapkan dalam percobaan transplantasi, berarti antigenisitas tumor tersebut memiliki relevansi biologik.

Bahwa respons imunologik terhadap antigen-antigen tumor yang diinduksi dengan virus memiliki relevansi biologik, juga terbukti dari insidensi yang lebih besar dan pertumbuhan yang lebih cepat, jika induksi ini dilakukan pada binatang-binatang dengan defisiensi imunologik.

Hal ini tidak terdapat pada tumor yang diinduksi secara kimiawi atau yang terjadi spontan. Namun dalam hal ini ada kemungkinan bahwa pada stadium lanjut faktor imunologik berpengaruh terhadap progresinya. Kita tidak mungkin melakukan percobaan transplantasi pada manusia, karena itu petunjuk-petunjuk mengenai relevansi biologik antigen membran tumor diperoleh secara tidak langsung.

Petunjuk-petunjuk ini antara lain adalah hubungan antara prognosa dan jumlah limfosit di dalam dan di sekitar tumor, dan hiperreaktif atau tidaknya kelenjar regional. Petunjuk lain adalah bahwa dalam percobaan laboratorik didapatkan reaksi-reaksi imunitas seluler, tetapi ini bisa dihambat oleh faktor-faktor serum. Faktor serum ini terutama terdapat kalau tumor atau metastatis-metastatisnya masih ada.

Keterangan-keterangan mengenai kurangnya respons imunologik terhadap antigen-antigen tumor pada percobaan binatang adalah :

  • Tumor in situ, karena lokalisasi, tidak dapat menimbulkan respons imunologik, meskipun pada prinsipnya ada imunogenisitas, sebab sesudah transplantasi ke dalam binatang dari satu keluarga, terjadi juga respons imunologik. Mungkin hal ini karena kedaan anatomik yang berbeda. Baru kalau tumor tersebut telah menjadi lebih besar timbullah oto-imunisasi. Tetapi faktor-faktor serum yang bersifat menghambat dalam hal ini juga mulai ikut mengambil peranan. Faktor-faktor ini dapat terdiri atas antigen yang dapat larut, yang disekresi oleh membran sel tumor, atau antibodi yang tidak bersifat membunuh sel tumor itu sendiri, atau gabungan keduanya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, faktor-faktor ini terdapat pada manusia dan juga pada percobaan binatang, selama masih ada sel tumornya.
  • Antigenisitas sel tumor dapat juga ditutup oleh asam siaal dalam glikoprotein membran. Sesudah diproses dengan neuraminidase yang melepaskan asam siaal itu, ekspresi antigennya menjadi lebih kuat. 
  • Respons imunologik yang lemah dapat memacu pertumbuhan seperti kadang-kadang dapat ditunjukkan dalam percobaan in vitro maupun in vivo.

Imunoterapi, atau dengan kata lain manipulasi daya imunologik, bermaksud menimbulkan suatu respons imunologik atau menjadikannya lebih efektif. Kebanyakan usaha ini lahir dari ''trial and error method'' dan kemudian menyusul berbagai spekulasi tentang bagaimana mekanisme terjadinya effek.

Kemungkinan-kemungkinan yang ada pada usaha imunisasi aktif ialah transformasi T-limfosit menjadi blast T-''killer''; mobilisasi sel-sel ''killer'' alamiah; aktivitas makrofag-makrofag; menimbulkan antibodi dengan afinitas lebih tinggi dan memiliki sifat-sifat biologik tertentu, dalam jumlah besar.

Antibodi yang bersifat menguntungkan, misalnya adalah antibodi sitofil yang memungkinkan kontak antara limfosit atau makrofag dengan sel-sel tumor, sehingga kemudian terjadi lisis pada sel-sel tumor itu. Mungkin antibodi macam terakhir ini dan antibodi sitotoksik yang tergantung komplemen, yang memegang peranan pada terapi serum pasif yang efektif.

Ada suatu kaidah umum imunoterapi hanya efektif kalau jumlah sel tumornya sedikit dan kebanyakan demikian sedikitnya sehingga tumor tersebut secara makroskopik atau klinik belum manifes. Pedoman yang biasa dipakai adalah sel tumor yang jumlahnya 109 atau sama dengan tumor 1 gram adalah jumlah minimal yang dapat manifes secara klinis; sel tumor yang jumlahnya 104 adalah maksimal yang mungkin dapat dibersihkan oleh respons imunologik yang terinduksi secara alamiah; sel tumor 105 adalah yang dapat dibersihkan oleh respons imunologik yang telah diperkuat daya kerjanya oleh imunoterapi.

Pedoman ini (yang sudah barang tentu memiliki perkecualian) menunjukkan pentingnya memperkecil jumlah massa tumor, jika ingin didapatkan suatu efek manipulasi imunologik. Ini berlaku imunisasi aktif umum, baik spesifik misalnya dengan sel-sel tumor yang diradiasi disertai atau tanpa reaksi dengan neuraminidase, maupun yang non-spesifik dengan stimulansia imunologik seperti BCG dan Corynebacterium parvum (Cp), dan untuk imunisasi passif dengan antiserum allogen atau xenogen.

Suntikan lokal dengan BCG atau Cp atau substansi lain ke dalam tumor memberi efek yang lebih kuat, sehingga tumor-tumor eksperimental dengan ukuran garis tengah sampai 1 cm masih dapat dilenyapkan. Ini memiliki arti penting pada orang-orang yang operasinya dijalani tidak bersifat radikal.

Meninggalkan zat-zat seperti BCG atau Cp dalam daerah tumor mungkin ada artinya. Sesudah pemasukan zat-zat tersebut ke dalam tumor dapat dicapai efek lokal yang baik namun jarang dijumpai suatu efek jauh; karena itu metode ini tidak ada artinya untuk terapi tumor metastatik.

Karena dari imunoterapi hanya dapat diharapkan sesuatu bila manifestasi klinik tumor tersebut belum terlihat, maka imunoterapi di dalam klinik baru dapat dievaluasi kalau penyelidikan tersebut dilakukan terhadap sekelompok besar penderita.

Dalam hubungan trial hal ini berlaku baik untuk penderita yang telah dioperasi dan atau diradiasi, maupun untuk penderita lekemi atau penyakit keganasan sistemik lain yang telah mencapai stadium remisi dengan kemoterapi. Di sini yang menjadi ukuran adalah statistik ketahanan hidup, dengan juga mempertimbangkan kwalitas hidupnya.

Sesudah laporan pertama dari Mathe di tahun 1968 mengenai pengaruh positif BCG dan atau sel-sel lekemi yang telah diradiasi terhadap periode remisi penderita lekemi limfatik akut, banyak dilakukan percobaan. Di sini yang terutama dipakai adalah BCG, tetapi juga derivat-derivatnya seperti ''Methanol Extraction Residue'' (MER) atau ''Cell Wall Skeleton'' (CSW) dan CP sebagai bahan non spesifik, sedang sel-sel tumor allogen sejenis yang diradiasi (kadang-kadang sesudah diproses dengan neuraminidase) digunakan sebagai bahan untuk memperkuat atau menimbulkan respons imunologik yang spesifik.

Dalam hal terakhir ini kerap kali BCG dipakai sebagai adjuvan dengan cara mencampurnya dengan sel-sel tumor tersebut. Juga obat cacing levamisol, yang disebut-sebut dapat memperbaiki daya imunologik yang menurun, digunakan dalam berbagai percobaan.

Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan peroral dan hanya memiliki sedikit kerja-ikutan. Hasil percobaan-percobaan ini berbeda-beda dan banyak yang tidak dapat dipercaya misalnya kalau yang dipakai adalah kontrol historik, artinya dengan menggunakan hasil-hasil terapi tahun-tahun sebelumnya.

Seperti yang baru-baru ini tampak dari suatu penyelidikan melanoma di Sloan-Kettering Institute, hasil-hasil terapi dalam beberapa tahun memperlihatkan perbaikan tanpa sebab yang jelas. Andaikata dalam percobaan ini penderita yang diterapi dengan BCG tidak dibandingkan dengan penderita kontrol random, tetapi dengan kontrol historik, maka perbaikan pragnosa tadi akan didasarkan pada terapi BCG yang sebetulnya tidak benar.

Sekarang setelah banyak hasil penyelidikan yang tersusun baik, ternyata efek imunoterapi pada banyak keadaan adalah nihil dan tidak memenuhi harapan semula. Dalam satu trial tampaknya prognosanya bahkan lebih buruk. Meskiun demikian ada juga beberapa hasil yang memberi harapan.

Imunisasi paling tidak berguna untuk terapi paliasi. Misalnya, ada tanda-tanda bahwa remisi lekemi mieloid akut dapat diperpanjang dengan pemberian injeksi BCG dengan sel lekemi yang telah diradiasi. Ketahanan hidup penderita karsinoma paru dapat diperpanjang dengan memasukkan BCG atau BCG-CWS intrapleural sesudah operasi.

Dengan penggunaan levamisol pada stadium tertentu pada karsinoma paru dan payudara mungkin dapat dicapai ketahanan hidup yang lebih panjang. Metastatis melanoma dapat dilenyapkan dengan imunoterapi lokal selama metastasis ini masih intrakutan. 

Sering diumumkan efek positif BCG terhadap metastasis melanoma, tetapi hingga sekarang belum dibuktikan dalam percobaan yang tersusun baik dari sampel random. Iunoterapi eksperimental lain, adalah misalnya pemberian anti serum atau fraksi imunoglobinnya (imunoterapi pasif), atau pemberian RNA yang diisolasi dari limfosit-limfosit binatang yang telah diimunisasi (imunoterapi adoptif).

Meskipun pada manusia secara insidental diperoleh hasil baik dari imunoterapi pasif dengan menggunakan serum penderita yang telah sembuh, atau kadang-kadang anti serum yang heterolog, namun bagi penderita yang klinis telah menunjukkan metastasis jarang berhasil.

Melihat hasil-hasil percobaan binatang akhir-akhir ini, mungkin di kemudian hari ada tempat bagi kombinasi sitostatika dengan anti serum. Menurut beberapa penyelidikan bahkan efeknya akan lebih baik kalau sitostatika tersebut diikatkan pada molekul-molekul antibodi.

Sebagai penutup akhirnya diambil kesimpulan bahwa pada waktu ini banyak dilangsungkan percobaan untuk menilai efek imunoterapi non-spesifik maupun yang spesifik. Walaupun hasilnya banyak yang mengecewakan namun ada juga beberapa hasil memberi harapan.
Dengan mengaktivasi sel-sel makrofag dan dengan menimbulkan reaksi radang lokal pada daerah tumor, diduga dapat dicapai efek sitostatik. Bahkan meskipun tumor yang bersangkutan tidak bersifat antigenik, juga masih mungkin efektif, karena makrofag-makrofag yang diaktifkan dapat mengenal sel-sel tumor dengan cara lain.