Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kolon lambung (Prof. Dr. E.A. van Slooten)

Kolon lambung (Prof. Dr. E.A. van Slooten) - Sementara di Eropa Barat dan Amerika Utara frekwensi karsinoma lambung tiap golongan umur menurun sedikit demi sedikit, tampak ada sedikit peningkatan frekwensi karsinoma usus besar. Sebab perubahan ini tidak diketahui. Juga tidak didapat petunjuk akan kenaikan frekwensi kelainan yang kiranya memperbesar kemungkinan terjadi karsinoma kolon. Kelainan yang dimaksud antara lain misalnya ''poliposis coli'' dan ''colitis ulcerosa''.

Poliposis adalah penyakit keturunan yang bersifat dominan dengan penetrasi rata-rata 80%, sehingga dapat diharapkan, bahkan pada 40% anak dari keluarga yang salah satu orang tuanya menderita poliposis, penyakit ini akan menjadi manifes. Ini biasanya terjadi pada umur antara 10-25 tahun.

Kolon lambung (Prof. Dr. E.A. van Slooten)

Yang menarik ialah bahwa tampaknya penyakit ini lebih dini manifes pada generasi-generasi berikutnya. Lebih lanjut ternyata juga bahwa jika seseorang dari keluarga poliposis pada umur 35 tahun belum menunjukkan manifestasi pertumbuhan polip, ini berarti struktur genetik kolonnya adalah normal.

Pada sebagian penderita tidak ditemukan tumor kolon dalam silsilah keluarganya. Dalam hal ini tumor tersebut mungkin terjadi karena mutasi. Tetapi ini dapat bersifat menurun. Adalah penting untuk membedakan penderita dengan polip adenomatosa yang banyak (kurang dari 100) tetapi terdapat pada tempat-tempat yang tersebar, dari penderita dengan poliposis sungguh-sungguh, karena dalam hal pertama kelainannya tidak bersifat menurun dominan, melainkan paling banyak hanya ''familier'' saja.

Pada poliposis sejati mula-mula terjadi pulau-pulau hiperplasia epite; ini berkembang menjadi polip. Polip ini memiliki aspek polip adenomatosa ''biasa''. Dalam waktu 10 sampai 20 tahun terjadilah karsinoma di suatu tempat atau lebih.

Belum diketahui pasti apakah perubahan ganas ini terjadi di polipnya ataukah langsung dari mukosa yang terletak di antara polip-polip itu. Karena itu ada beberapa alasan untuk kolektomi subtotal, kalau penyakit ini ditemukan pada anak di atas usia 8 tahun dan memiliki riwayat keluarga yang menderita poliposis

Alasan tersebut antara lain :

  • Perubahan ganas dapat timbul dini (penderita termuda 12 tahun).
  • Poliposis kerapkali menimbulkan diare, perdarahan kecil yang berulang-ulang, memproduksi lendir, dan menimbulkan hasrat defekasi. Meskipun tidak menyebabkan rasa sakit yang berat, penderita dapat sangat terganggu, dan kadang-kadang bisa terhambat pertumbuhannya.
  • Makin muda makin mudah penderita menyesuaikan diri kepada situasi yang baru.

Pada umumnya rektum bisa dipertahankan dan pada kolektomi ileum dihubungkan dengan rektum, kecuali jika terjadi karsinoma di bagian distal rektum. Polip di rektum dapat ditangani dengan baik dengan elektrokoagulasi. Penderita ini harus kontrol secara teratur tiap 4-6 bulan, seumur hidup.

Kalau timbul polip baru, harus dikoagulasi, dan dengan perawatan begini seandainya ditemukan karsinoma maka dapat ditangani pada stadium dini. Tetapi kemungkinan terjadinya tumor ganas di rektum adalah kecil (5%), kalau garis diatas diikuti.

Telah dapat diperhitungkan bahwa kemungkinan seseorang yang telah menderita colitis ulcerosa untuk kemudian mendapat karsinoma kolon jelas meningkat. Dalam hal ini resiko terbesar terdapat pada penderita yang kolitisnya telah mulai dini, kolitisnya telah mengenai sebagian besar kolon, mengidap pseudopolip penonjolan mukosa, pada permulaan tanpa perubahan epitel dan striktur-striktur.

Ada petunjuk-petunjuk bahwa dengan pemeriksaan histologik dan histokimia dari biopsi berbagai bagian mukosa kolon, dapat dipisahkan suatu golongan dengan resiko yang sangat tinggi. Jarang suatu karsinoma telah timbul dalam waktu 10 tahun sejak permulaan colitisnya.

Dengan memperhatikan fakta ini jelaslah bahwa pada penderita colitis ulcerosa yang luas dan seringkali kambuh, harus dipertimbangkan kolektomi, juga kalau saat penyakitnya sudah dalam keadaan tenang. Dalam keadaan ini resiko operasi hanya kecil, dan jauh lebih kecil daripada menunggu sampai timbul suatu tumor, lebih-lebih karena karsinoma yang timbul atas dasar colitis ulcerosa memiliki prognosa jelek, karena pertumbuhannya sangat infiltratif dan menimbulkan metastasis hematogen.

Kalau bagian rektum yang terkena hanya sedikit dan gejala radangnya telah hilang, cukup dikerjakan ileoreltostomi. Tindakan ini juga memerlukan kontrol seperti pada poliposis. Pada kedua keadaan tersebut kolektomi dapat dipandang sebagai profilaksis karsinoma yang sungguh-sungguh.

Lain halnya jika pada pemeriksaan rektum dan atau kolon oleh karena suatu sebab (keluhan perut, perdarahan per anum, dan sebagainya) didapatkan satu atau beberapa polip yang terpencar, tetapi tidak ada kelainan yang mencurigakan untuk karsinoma. 

Sebagian besar 90% polip yang diketemukan demikian itu (peninggian yang sirkumskrip atau penonjolan yang bertangkai) sama sekali tidak berhubungan dengan kemungkinan karsinoma. Ini hanyalah penonjolan yang dilapisi epitel kolon biasa, dengan jaringan limfatik di dalamnya : polip hiperplastik.

Tetapi sisanya 10% polip yang diketemukan demikian itu epitel yang menutup bersifat jelas lain. Sel-selnya tampak padat, penuh dan berdesak-desakan. Terjadi pertumbuhan ke atas dan perubahan sifat. Ini adalah polip neoplastik adenomatosa dengan proliferasi epitel yang abnormal, sebagai pada poliposis coli.

Statistik menunjukkan bahwa penderita yang mengandung satu atau beberapa polip adenomatosa yang menimbulkan gejala, memiliki resiko lebih tinggi untuk mendapatkan karsinoma kolon di kemudian hari, meskipun polip tersebut telah diangkat seluruhnya berikut tangkainya. 

Barangkali ini disebabkan karena perubahan maligna polip baru yang ternyata timbul lagi pada 40-50% penderita itu. Hipotesa ini kemungkinan besar benar, karena ternyata pada pemeriksaan mikroskopik yang teliti polip yang secara klinis bersifat jinak (artinya yang bertangkai dan tidak menunjukkan ulserasi, didapatkan pada 5% bagian epitel menunjukkan sifat karsinoma in situ).

Jelaslah bahwa dari kelainan ini besar kemungkinan terjadi karsinoma meskipun dalam jangka waktu agak lama. Makin besar polipnya, makin besar kemungkinan perubahan (pre) maligna. Di samping itu didapat kemungkinan, bahwa dalam mukosa usus yang membentuk polip adenomatosa juga lebih sering timbul karsinoma.

Tetapi karsinoma ini tumbuh tanpa stadium pendahuluan yang bersifat polip, melainkan langsung dari suatu proliferasi epitel yang sangat atipik, atau dari karsinoma in situ. Bahwa pada kurang lebih 50% penderita karsinoma kolon juga terdapat polip, tidak boleh merupakan alasan menganggap adanya hubungan kausal antara kedua kelainan itu, karena ternyata pada obduksi penderita di atas 50 tahun yang meninggal karena penyakit lain, hampir 70% mengandung polip kolon yang asimptomatik.

Di sini problemnya ialah bahwa kita perlu mengambil tindakan yang kadang-kadang berat, tetapi dasar perhitungannya sebenarnya belum kuat; yaitu menetapkan apakah semua penderita yang pernah mengidap polip adnomatosa perlu dikontrol seumur hidup, atau cukup dalam waktu tertentu misalnya 5 tahun atau bisa dibebaskan dari kewajiban kontrol jika 1 tahun sesudah polipektomi tidak timbul residif.

Keputusan apapun yang akan diambil yang perlu adalah menekankan kepada penderita untuk segera pergi ke dokter setiap dirasakan ada perubahan sifat buang air pengeluaran darah atau lendir, diare atau obsitpasi. Terapi polip adnomatosa sendiri tidak merupakan problem kalau melalui rektoskop atau koloskop secara menyeluruh polip itu dengan tangkainya dapat dipotong secara diatermi.

Ini dapat juga kita sebut prevensi kanker. Kalau eksisi endoskopik karena sesuatu sebab tidak mungkin dikerjakan, maka diambil sikap konservatif dengan pengawasan ketat. Tiap 6 bulan sekali dilakukan pemeriksaan rontgenologik. Sikap konservatif ini hanya bisa dipertanggungjawabkan jika diameter polip kurang dari 1,2 cm dan tak ada tanda-tanda pertumbuhan.

Jika diameternya lebih besar dan polip terus bertumbuh lebih baik dilakukan kolektomi, karena ternyata pada 10-15% di antaranya terjadi pertumbuhan tumor yang infiltratif. Indikasi terapi tumor villosa jarang terdapat sama dengan yang berlaku untuk polip yang besar.

Tumor villosa ini tidak bertangkai dan meluas dipermukaan dengan menempati tempat epitel yang normal. Biasanya tumor ini memproduksi banyak lendir yang kaya elektrolit, sehingga antara lain dapat mengakibatkan hipokaliemi. Tumor ini umumnya ditemukan bukan karena perdarahannya, melainkan karena pengeluaran lendir yang sangat mengganggu.

Terapinya adalah reseksi kolon. Terapi lokal, misalnya dengan elektrokoagulasi, atau eksisi transanal kadang-kadang dapat dilakukan pada tumor yang kecil tetapi harus diingat bahwa pada tumor yang agak besar kemungkinan di tengah tumor itu terdapat pertumbuhan maligna yang invasif juga besar 30%.

Karsinoma kolon sendiri meminta perhatian yang lebih besar daripada polip dan merupakan alasan untuk tidak melepaskan lagi penderita setelah terapi kuratif. Ternyata seorang penderita karsinoma kolon yang berusia 60 tahun dan telah berhasil disembuhkan, memiliki kemungkinan lebih dari 30% untuk mendapatkan karsinoma kolon atau rektum yang baru, dalam kelanjutan hidupnya. Karena itu perlu dilakukan kontrol dengan endoskopi dan pemeriksaan rontgenologik.

Karena kecepatan pertumbuhan dan perubahan polip menjadi karsinoma itu lambat, maka agaknya cukup melakukan kontrol tiap 2 tahun sekali pada penderita yang termasuk golongan high risk, selama tidak ada kekhawatiran terjadi pertumbuhan residif dan pada pemeriksaan terakhir tidak didapatkan kelainan.

Kalau pada penderita karsinoma kolon sebelum terapi bedah titer ''Carcino-Embryonic-Antigen'' (CEA) serum meninggi, dan sesudah operasi titer tersebut turun, maka titer CEA ini bisa digunakan sebagai alat kontrol walaupun CEA ini tidak spesifik untuk tumor kolon. Kenaikan titer CEA pada penderita ini dapat berarti timbul tumor residif atau metastasis atau tumbuh tumor baru.

Tampaknya tidak perlu dijelaskan di sini mengenai diagnosa dini karsinoma rektum dan kolon. Semua orang mengetahui gejalanya (darah, lendir, hasrat defekasi, perubahan pola defeksi, anemi, dan sebagainya). Meskipun demikian selama 25 tahun terakhir ini masih belum ada perubahan jangka waktu yang terbuang antara muncul gejala pertama dan saat diagnosa.

Jangka waktu ini baik dahulu maupun sekarang rata-rata setengah tahun. Pada penderita yang tua duapertiga dari kelambatan ini terletak pada penderita tersebut, karena mereka melalaikan pergi ke dokter pada saat gejala pertama timbul. Tetapi pada penderita yang lebih muda duapertiga kesalahan terletak pada dokter, mungkin karena pada penderita ini lebih dahulu dipikirkan sebab lain.

Ini dapat difahami karena frekwensi karsinoma kolon baru jelas meningkat di atas usia 50 tahun. Meskipun demikian hal ini tetap merupakan kesalahan besar, karena :

  • Ukuran tumor berbanding lurus dengan prognosanya : makin besar tumor itu, makin buruk prognosanya, terutama karena pertumbuhan ke dalam dinding usus.
  • Dengan bertambahnya perluasan melingkar dan memanjang, semakin kecil kemungkinan melakukan tindakan terhadap karsinoma rektum dengan mempertahankan anusnya.
  • Beban yang dipukul penderita dan mordibitas sesudah operasi bertambah besar, kalau perluasan tumor mengakibatkan perlunya terapi kombinasi radikasi dan bedah.

Oleh karena itu perlu dikerjakan pemeriksaan yang seksama, jika seorang penderita memiliki keluhan yang dapat mengingatkan kepada karsioma rektum atau kolon, meskipun jelas ada hemoroid atau fisuraani. Dengan ''toucher'' dan rektoskopi lebih dari 60% tumor usus dapat diketemukan.
Frekwensi tumor di bagian yang lebih tinggi (yang lebih panjang itu) jelas lebih kecil dan umumnya sama di berbagai bagian. Di coecum dan bagian pertama kolon ascendens lebih sering tumbuh tumor eksofitik yang mudah berdarah dan karena itu mengakibatkan anemi sebagai gejala pertama.