Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prevensi primer dan sekunder (Prof. Dr. H.A Valkenburg)

Prevensi primer dan sekunder (Prof. Dr. H.A Valkenburg) - Dalam sebuah artikel belum lama ini Louria dan lain-lain (1976) memberikan ikhtisar effektivitas prevensi primer dan sekunder terhadap timbulnya gangguan-gangguan menahun, termasuk di dalamnya keganasan. Hanya dari karsinoma paru dapat dikatakan, bahwa prevensi primer dapat dilakukan.

Lebih dari 80% dari risiko karsinoma paru pada laki-laki dapat dihubungkan dengan merokok tiap hari untuk waktu yang lama sigaret yang banyak (lebih dari 40 batang). Dalam hal ini risiko kematian karena karsinoma paru menjadi 15 sampai 20 kali lebih besar daripada yang tidak merokok.

Untuk wanita berlaku angka-angka lebih dari 20 sigaret sehari dan kenaikan risiko 10 sampai 15 kali. Karena karsinoma penis terdapat melulu pada laki-laki yang tidak dikhitankan, maka dengan circumcisio mungkin dapat dilakukan prevensi primer tumor yang jarang terdapat ini.

Alkohol dan tembakau merupakan kemungkinan faktor-faktor risiko dalam terjadinya karsinoma esofagus, karsinoma rongga mulut dan karsinoma larynx dan pharynx. Karena patogenesa dan etiologi tumor-tumor ini masih banyak dipertentangkan dan terdapat perbedaan geografik yang besar, tidak dapat dinyatakan bahwa reduksi konsumsi alkohol dan tembakau sungguh-sungguh akan menurunkan insidensi tumor ini.

Lebih dahulu telah disebutkan bahwa aksi-aksi yang ditujukan kepada pencarian dini kelainan-kelainan maligna sifatnya preventif sekunder. Dua bentuk kanker yang berdasarkan atas lokalisasinya yang mudah di jangkau memenuhi hal ini ialah karsinoma cervix dan karsinoma payudara.

Dalam satu penelitian ditunjukkan (Shapiro dan kawan-kawan, 1971, Shapiro 1973), bahwa pemeriksaan tahunan terhadap kanker payudara, dibanding dengan golongan kontrol yang sesuai yang tidak diperiksa secara periodik, memberikan penurunan kematian yang berarti dalam golongan yang diperiksa pada akhir 7 tahun pemeriksaan follow up.

Sesudah 5 tahun pemeriksaan follow up penurunan mortalitas ini hanya didapat dalam golongan umur 50-59 tahun, tetapi tidak dalam golongan 40-49 tahun suatu hasil yang belum dapat diterangkan. Reduksi kematian dapat dikembalikan kepada penemuan kanker payudara preklinis dengan jalan mammografi dan pemeriksaan fisik yang masing-masing memberikan sumbangannya sendiri.

Konfirmasi hasil-hasil ini dalam suatu penelitian lain yang tersusun baik dan terkontrol amat diperlukan. Juga masih harus ditunggu apakah effek penyinaran berulang payudara wanita dalam jangka panjang.

Effektivitas screening kanker leher rahim, dalam arti mortalitas yang menurun, masih selalu dalam pertentangan. Analisanya juga tambah dipersukar oleh juga tanpa programma screening penurunan kematian karena karsinoma leher rahim yang disinyalir di berbagai negara.

Di samping itu insidensi karsinoma ini dipengaruhi oleh bertambahnya jumlah wanita yang menjalani histerektomi atas dasar lain daripada malignitas. Tetapi publikasi-publikasi terakhir dari Kinlen dan Doll (19730 dan Miller dan kawan-kawan (1976) menunjukkan kemungkinan, bahwa lebih dari 25 tahun sesudah permulaan program screening sitologik yang intensif dan aktif di Britisch Columbia (Kanada), mortalitas karena kanker leher rahim lebih rendah daripada di bagian-bagian lain Kanada.

Jelaslah bahwa pada pemberantasan kanker di tingkat seluruh populasi harus ditunggu lama sebelum hasil-hasilnya menampakkan diri. Dua bentuk kanker yang cukup mudah di jangkau ialah karsinoma kolon dan karsinoma lambung.

Yang terakhir ini dalam hampir semua negara barat menunjukkan penurunan yang tajam, tanpa adanya keterangan yang baik untuk fenomena ini. Joossens dan kawan-kawan (1977) memperkirakan ini sebagai akibat berkurangnya pemakaian garam dalam 50 tahun terakhir ini.

Ini juga dianggap dapat menerangkan mengapa prevalensi dan insidensi kanker ini di Jepang sedemikian tingginya. Pencarian dini dengan endoskopi di Jepang dikatakan meningkatkan kemungkinan ketahanan hidup. Tetapi ini belum dikuatkan di tempat lain.

Effektivitas pencarian dini terhadap mortalitas karsinoma kolon-rektum dengan test darah terselubung (hemocculttest) masih harus ditunjukkan dalam suatu penyelidikan prospektif. Demikian juga halnya untuk pemeriksaan sitologik urine dan sputum pada golongan-golongan orang dengan risiko meninggi untuk karsinoma kandung kencing dan paru.
Prevensi sekunder kanker paru dengan pemeriksaan rontgen paru secara masal berkala ternyata tidak mungkin (Brett 1968; Silverberg dan Holleb 1975), meskipun hal ini disanggah (Sluiter dan kawan-kawan 1977)