Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prognosa (Dr. P. Veeze)

Prognosa (Dr. P. Veeze) - Prosentasi penyembuhan menyeluruh karsinoma paru sebetulnya belum diketahui. Dari angka terakhir mengenai penderita yang dirawat di tahun 1956 sampai 1958 di negeri Belanda, yang masih hidup 5 tahun sesudah diagnosa hanya tinggal 7% (Meinsma, 1965).

Sesudah itu kita ketahui mortalitas tahunan karena kanker paru dari statistik kematian tetapi tidak diketahui jumlah penderita penyakit ini yang masih hidup. Oleh karena itu sukar dinilai efek usaha diagnosa dan terapi terhadap prosentasi penyembuhan.

Demikian halnya dengan kanker paru, perlu diadakan lagi ragistrasi umum, meskipun hanya untuk suatu daerah geografik yang terbatas. Di samping itu ada pendapat umum, yang juga dikuatkan angka-angka luar negeri, bahwa kira-kira 90 dari tiap 100 penderita kanker paru meninggal dalam 5 tahun sesudah didiagnosa sebagian besar bahkan dalam waktu 2 tahun.

Tetapi kanker paru merupakan penyakit yang heterogen baik dalam morfologi maupun gambaran kliniknya. Perlangsungan dan kemungkinan penyembuhan tergantung dari lokalisasi, kecepatan pertumbuhan, hasrat infiltrasi dan metastasis tumor itu dan dari stadium perluasannya pada waktu didapatkan.

Selain itu untuk sebagian yang letaknya sentral pertumbuhannya cepat dan agresif dan dengan pembuatan metastasis yang dini, tidak mungkin sama sekali terapi kuratif. Tetapi ada pula tumor yang tumbuh lambat dan lama baru membuat metastasis, sehingga benar-benar bisa dilakukan terapi yang tuntas jika diagnosa dapat ditegakkan sedini mungkin.

Pola keluhan penderita sudah memberi petunjuk penting mengenai prognosanya. Feinstein (1964, 1971) membagi 678 penderita kanker paru (8% di antaranya masih hidup sesudah 5 tahun) atas dasar anamnesa ke dalam 5 ''stadia''.

Perjalanan karsinoma paru tidak selalu berturut-turut mulai dari stadium keluhan I kemudian stadium II dan seterusnya. Tetapi pada sebagian tumor mereka cukup lama berada dalam stadium I atau II dan kemudian tiba-tiba pindah ke stadium lebih lanjut.

Ada petunjuk-petunjuk bahwa sebagian besar karsinoma paru pada mulanya terletak perifer, dan ternyata kebanyakan telah lama dapat ditunjukkan secara rontgenologik (ada beberapa yang bahkan lebih dari sepuluh tahun) (Rigier 1964, Tala 1967, Eidens 1968, Veeze 1968), sebelum memberikan keluhan yang mencemaskan.

Dalam waktu ini (fase deteksi) mereka termasuk stadium keluhan I dan II Feinstein. Berangsur-angsur timbullah keluhan, sebagai akibat perluasan lokal dan atau terjadinya metastasis, dan kemungkinan penyembuhan pun menjadi cepat berkurang.

Karsinoma paru yang masih berada dalam stadium keluhan I atau II, yang ditandai oleh tidak adanya keluhan-keluhan yang mencemaskan, dalam praktek hanya diketemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rontgenologik.

Karena itu karsinoma paru yang didapatkan pada pemeriksaan massal rata-rata memiliki prognosa lebih baik dibanding dengan karsinoma yang didapatkan karena ada keluhan tertentu. Suatu publikasi di negeri Belanda menyebutkan bahwa penderita-penderita di bawah usia 70 tahun yang didapatkan pada pemeriksaan massal memiliki angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% (Huisken, 1976).

Sayang pemeriksaan massal untuk mencari ''tuberkulosis'' tidak selalu terorganisasi optimal serta dilengkapi sarana untuk penemuan dini karsinoma paru. Sebenarnya jika diberikan perhatian khusus untuk segi ini, mungkin hasilnya dapat ditingkatkan, seperti ditunjukkan oleh penyelidik lain di negeri Belanda yang mendapatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 34% untuk penderita di bawah usia 70 tahun (Veeze 1974).

Untuk karsinoma paru yang waktu diketemukan masih berupa sarang paru soliter asimptomatik, prognosanya adalah yang terbaik. Kalau tidak disertai metastasis, sesudah operasi diperoleh 50-60% kemungkinan penyembuhan permanen.

Jadi rupa-rupanya dengan pencarian rontgenologik bisa ditemukan cukup banyak kanker paru yang prognosanya pada waktu itu masih relatif baik, yang membenarkan pendekatan diagnostik dan terapeutik aktif (Sluiter et al. 1977). Tetapi untuk dapat memanfaatkan cara ini secara baik perlu dilakukan pemeriksaan rontgen sekali setahun bahkan sebaiknya tiap setengah tahun.

Pemeriksaan sitologi sputum (terutama pada karsinoma bronkhus yang agak besar) sebenarnya memungkinkan penemuan lebih dini dibanding pemeriksaan rontgenologik, dengan kemungkinan sekaligus prognosa yang lebih baik.

Tetapi dengan cara ini tumor sukar dilokalisasi, dan di samping tidak semua penderita memproduksi sputum, sementara ini karena berbagai soal teknik belum mungkin dilakukan screening sitologik secara besar-besaran. Sebelum menjalankan suatu terapi kuratif, harus dipertimbangkan dulu, apakah penderita secara fisik dan mental tahan menjalaninya dan apakah sesudah itu dapat diharapkan suatu kehidupan yang wajar.
Meskipun pada penderita-penderita di atas 70 tahun resiko operasi menjadi lebih berat (Bangma, 1976) umur sendiri tidak merupakan kontraindikasi reseksi (Stadlander-de Jong, 1971). Dapat ditunjukkan, bahwa banyak penderita sesudah operasi mampu kembali menjalankan kegiatan fisik yang berat. Tetapi penderita yang telah sembuh ini masih merupakan golongan ''high risk'' untuk mendapatkan tumor paru primer yang kedua. Karena itu tetap memerlukan kontrol yang teratur.